MOROWALI,Brita.id– Pelan namun pasti. Dengan sangat cekatan, Sumiyati memasukkan beragam menu lauk pauk ke dalam wadah kertas makanan. Hampir setiap pagi, warung makan “Dapur Pak Dul” tempat ia bekerja itu ramai dikunjungi karyawan yang bekerja di Kawasan Industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Beberapa menu yang disajikan “Dapur Pak Dul” adalah nasi kuning, nasi putih, nasi uduk, ikan bakar, dan sayur bening. Seporsi nasi uduk dijual seharga Rp10.000, bila disertai lauk ayam atau telur menjadi Rp15.000. Sementara satu porsi ikan bakar seharga Rp25.000. Rumah makan ini buka pukul 04.00 hingga 22.00 Wita setiap harinya.
Warung makan adalah satu dari sekian ribu usaha yang tumbuh di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, saat ini. Kehadiran mereka dapat diartikan sebagai salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari hadirnya Kawasan Industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Sejak 10 tahun terakhir ini, Kawasan Industri IMIP memang menjadi magnet ekonomi baru bagi para pencari ‘cuan’. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia, utamanya Sulawesi.
Contohnya Warung makan ‘Dapur Pak Dul’ yang diasuh oleh Abdullah (52 tahun). Pria asal Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, ini mula-mula mendirikan usaha warung di Desa Fatufia, salah satu desa di Kecamatan Bahodopi pada 2018. Kala itu, Abdullah membuka warung di depan halaman parkir kendaraan perusahaan PT BintangDelapan Mineral (BDM). Di tempat ini, dia mampu meraup keuntungan sampai Rp40 juta per bulan.
Dinamai “Dapur Pak Dul”, keuntungan yang didapat Abdullah dari usaha rumah makan kemudian digunakan untuk mengontrak tempat baru. Setahun kemudian, pada 2019, dia mengontrak sebuah rumah di Desa Bahomakmur dengan biaya sewa Rp8 juta per bulan. Ditemui di Rumah Makan Dapur Pak Dul beberapa waktu lalu, Abdullah sedang memanggang ikan untuk disajikan sebagai salah satu menu sajian.
Dibanding warung sebelumnya di Fatufia, Abdullah mengungkapkan, rumah makan yang dijalankannya di Bahomakmur memanfatkan ruang lebih besar seluas sekitar 36 meter persegi.
“Dulu itu penjual makanan masih sangat kurang. Alhamdulilah pembeli itu pagi, siang, dan malam sangat lancar. Dan biasanya akan ramai saat jam makan siang, karena ada waktu istirahat karyawan dan pergantian jam kerja,” kata Abdullah.
Omzet rumah makan yang dijalankan oleh Abdullah cukup menggiurkan. Angkanya bisa mencapai Rp30–40 juta per bulan, dengan kebutuhan beras sebanyak 120 kilogram per hari.
“Bisa dikatakan rumah makan ini satu-satunya di Bahomakmur yang menghabiskan 120 sampai 125-kilogram beras per hari. Beras yang dipakai, dipesan dari Kendari, Sulawesi Tenggara,” kata Abdullah.
Dengan omzet cukup besar dan pelanggan yang banyak, Rumah Makan Dapur Pak Dul mampu mempekerjakan 17 orang untuk melayani para pembeli. Abdullah menjelaskan, jam kerja karyawannya terbagi dua waktu gilir (shift), masing-masing 8 jam. Mereka diberi upah harian sebesar Rp70 ribu–100 ribu tergantung durasi bekerja. Hingga kini, Rumah Makan Pak Dul masih mempertahankan kualitas rasa menu makanan yang disajikan.
Tak hanya usaha warung makan. Usaha lain yang juga bertumbuh bahkan menjamur di Bahodopi adalah jasa cuci pakaian (laundry). Alasan dari mereka menjalankan usaha ini cukup beragam. Ada yang mengatakan bahwa usaha ini cukup mudah untuk dikerjakan dan tidak membutuhkan modal yang besar. Ada juga yang mengatakan bahwa keutungan yang dijanjikan cukup statis dengan banyaknya jumlah karyawan yang ada di Kawasan Industri IMIP.
Seperti Ayu Lestari Rahman, perempuan asal Soppeng, Sulawesi Selatan, yang berdomisili di Bahomakmur. Sejak Januari 2023, Ayu dengan suaminya bersama-sama menjalankan usaha jasa cuci pakaian atau binatu. Dengan modal Rp18 juta yang dikumpulkan dari penghasilan suaminya sebagai mantan pekerja di jetty Labota, mereka lalu membeli peralatan berupa satu mesin cuci dan satu mesin pengering pakaian.
Ditemui di gerai cuci pakaian miliknya yang dinamai “BlueSea”, Ayu menceritakan kembali alasan mereka untuk berwirausaha. Setelah setahun bekerja di dermaga jetty (2022–2023), Rahman, suaminya, memutuskan untuk mengundurkan diri. Untuk mengenang pengalaman bekerja yang dekat dan akrab dengan samudera biru, maka BlueSea dipilih sebagai nama usaha binatu.
Dibandingkan usaha rumah makan, menurut Ayu, usaha binatu lebih mudah. “Saya tidak terlalu suka memasak,” ungkapnya.
Mereka pun memantapkan diri untuk menjalankan usaha binatu mengingat pertumbuhan penduduk sekitar makin besar sebagai potensi ekonomi yang menjanjikan.
Pada 2022, mula-mula usaha binatu mereka dirikan di Desa Fatufia. Namun, usaha binatu mereka terkendala kondisi air yang kotor. Kurang dari setahun, Ayu dan Rahman bersama kedua putranya yang berusia balita kemudian pindah mengontrak rumah ke desa tetangga, yaitu Desa Bahomakmur. Sampai saat ini, BlueSea telah menjadi salah satu rujukan warga Bahomakmur dan sekitarnya untuk mencuci pakaian.
Layanan binatu BlueSea menawarkan layanan berupa jasa cuci pakaian kilat atau sehari jadi. Ini menjadi kelebihan dibandingkan kebanyakan jasa binatu lain di Bahodopi yang baru dapat selesai 2–3 hari kemudian.
Namun, tarif yang dikenakan bagi pelanggan lebih tinggi dibandingkan tempat cuci serupa yang umumnya Rp5.000–6.000 per kilogram. Ayu menjelaskan, tarif layanan cuci pakaian sehari jadi di BlueSea adalah Rp7.000 untuk satu kilogram pakaian (tanpa disetrika), atau Rp10.000 per kilogram dengan disetrika.
Ada juga paket khusus untuk permintaan ekspres cuci pakaian dua jam selesai dengan ongkos lebih tinggi. Selain itu, BlueSea juga menyediakan layanan kurir gratis pengantar pakaian ke area Bahodopi dan sekitarnya.
Melihat Potensi Lain untuk Dijalankan
Bagi Ayu, pemilik laundry BlueSea, membuka usaha jasa cuci pakaian cukup membantu memenuhi kebutuhan hidup bulanan keluarganya. Sejak setahun lebih berjalan, usaha binatu miliknya meraup penghasilan rata-rata Rp15 juta per bulan.
Ayu juga berinisiatif menambah sumber pendapatan dengan menjual produk secara daring berupa makanan segar dalam kemasan (frozen food) dan pakaian. Belakangan, sejak November 2023, Ayu pun menjajakan minyak wangi atau parfum. Botol-botol berisi wewangian berjajar di area depan gerai binatunya. Sementara lemari pendingin kecil berisi makanan terpajang di sebelahnya.
Tak bisa dimungkiri, kehadiran PT IMIP beserta 52 Tenant yang beroperasi di kawasan ini menimbulkan lonjakan jumlah penduduk. Jika pada tahun 2019 jumlah karyawan dalam kawasan IMIP 45.000 orang, per Januari 2024 jumlahnya meningkat dua kali lipat, yakni 80.000 orang pekerja. Belum termasuk karyawan kontraktor yang mengerjakan proyek konstruksi di dalam Kawasan Industri IMIP.
Baik Abdullah maupun Ayu dan Rahman berencana memperluas cakupan usahanya dengan membuka cabang baru di desa lain. Bila keinginan mereka berjalan mulus, bukan tak mungkin geliat perekonomian mandiri yang mereka jalani kian bersinar pada masa mendatang.
Seperti peribahasa “ada gula ada semut”. Magnet daya hidup industri smelter di Kawasan Industri IMIP telah menggerakkan perekonomian masyarakat yang mandiri dan berdikari. (**/bus)