PALU,Brita.id– Lembaga Survei merupakan salah satu hal yang dapat menjadi magnet dalam menarik minat pilih masyarakat di pemilihan legislatif, presiden, maupun kepala daerah. Namun diantara lembaga survei tersebut ternyata memiliki catatan buruk.
Belum lama ini publik di Kota Palu dihebohkan dengan munculnya hasil survei SMRC (Saiful Mujani Research Center) yang menempatkan Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu, Hadiyanto Rasyid – Imelda Liliana Muhidin 69.8 persen, jauh diatas Hidayat – Andi Nur B Lamakarate yang hanya peroleh 18.8 persen, dan Muhammad J Wartabone – Rosna Bachmid 6 persen.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk “Peluang Calon-calon Walikota dalam Pilkada Kota Palu” yang dilakukan pada 14-22 Juli 2024.
Namun hal ini tidak dapat dijadikan acuan, dimana lembaga survei SMRC ternyata memiliki sejarah kelam.
Dikutip dari JawaPos.com, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta telah merilis hasil penghitungan Pilgub DKI. Hasilnya adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh angka 57,95 persen, sedangkan Basuki Tjahaja Punama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mendapat 42,05 persen.
Dari hasil tersebut, bisa dibandingkan dengan presentase quick count dari sejumlah lembaga survei. Apakah memberikan hasil sesuai metodologi atau malah melenceng jauh dari hasil di atas.
Peneliti FISIP UI, Fitri Hari mengatakan, perlu dilakukan audit publik kepada lembaga survei seperti SMRC, Indikator, dan juga Charta Politica. Lembaga survei itu, kata Fitri, perlu diberikan kartu merah oleh publik karena hasil buruk surveinya di pilkada Jakarta, putaran kedua.
“Publik harus aktif menilai kinerja lembaga survei. Sehingga ke depannya lembaga survei lebih berhati-hati mempublikasi risetnya, dan lebih memperhatikan metodologi,” ujar Fitri menyatakan temuannya, Jumat (21/4).
Menurut Fitri, evaluasi ini penting agar publik tidak hanya dijadikan obyek oleh lembaga survei. Publik juga harus menjadi subyek, membangun tradisi mengkritik lembaga survei agar berhati-hati dengan publikasinya.
Fitri menggunakan kategori kartu merah untuk lembaga survei yang salah fatal. Kartu kuning untuk lembaga survei yang tak mempublikasi hasil surveinya padahal di putaran pertama mereka aktif. Kartu biru untuk lembaga survei yang berhasil menggambarkan realitas di hari Pilkada. “Kartu merah diberikan kepada SMRC (Saiful Mujani Research Center), Indikator, dan juaranya Charta Politica,” katanya.
Ia menjelaskan, kartu merah itu untuk dua kegagalan. Pertama kegagalan menggambarkan tren. Kedua, lembaga survei itu menggambarkan trend Basuki Tjahaj Purnama (Ahok) yang menaik, dan Anies yang menurun. Padahal kenyataannya, Anies Baswedan justru menanjak tinggi melambung ke angka 57,95 persen.
Kedua, lanjut Fitri, kegagalan menggambarkan selisih kemenangan. Ketiga lembaga itu meyakinkan publik bahwa selisih anies vs ahok sangat tipis, bahkan di bawah margin or error. Kenyatannya, selisih Anies dan Ahok sangat besar di atas 15 persen, berkali-kali di atas margin of error.
“Dua kegagalan ini fatal. Dan tiga lembaga di atas layak dicatat publik mendapatkan kartu merah untuk urusan Pilkada,” kata Fitri.
Ia menambahkan, mengapa Charta Politica dianggap juara kartu merah. Pasalnya, Political Charta menjadi satu satunya lembaga yang menggambarkan Ahok sudah menyalip Anies. Kenyataannya 180 derajat, dukungan Anies justru semakin meninggalkan Ahok.
Sementara itu, Kartu kuning diberikan kepada lembaga survei yang absen di putaran kedua. Padahal di putaran pertama mereka sangat aktif. Fitri mencatat, absen di babak final atau putaran kedua, padahal aktif di babak putaran pertama, itu mengundang kecurigaan.
Lembaga tersebut sangat mungkin memilih tidak mempublikasikan hasilnya karena hasilnya bertentangan dengan kepentingan lembaga itu. Jelas itu absen karena pemihakan.
“Atau bahkan tak mendapatkan order melakukan survei padahal di putaran pertama aktif konferensi pers soal surveinya. Inipun sebuah point negatif kok gagal mendapat order di babak final padahal mendapatkan order di putaran pertama,” katanya.
Kartu kuning layak diberikan kepada lembaga itu. Yaitu CSIS, Litbang Kompas, Polltracking, dan juaranya Populi Center. Mengapa Populi Center menjadi juara kartu kuning. Lembaga ini sangat aktif soal pilkada DKI bahkan sebelum para calon gubernur diumumkan. Di putaran kedua, Populi Center sama sekali tak ada konferensi persnya.
Dan yang terakhir, lanjut Fitri, adalah kartu biru diberikan kepada lembaga survei yang berani melakukan konferensi pers dan jelas jejaknya, dan hasilnya bisa menggambarkan hasil resmi pilkada DKI. Lembaga yang tidak melakukan konferensi pers resmi tidak dihitung untuk kategori ini. “Yang mendapatkan kartu biru lembaga survei Median, SDI, dan juaranya LSI Denny JA, ” papar Fitri.(**/amt)