PALU,Brita.id– Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 27 November 2024 telah usai, namun menyisakan ketidakpuasan dari pasangan calon (Paslon) yang kalah, termasuk koalisi partai politik dan tim sukses mereka.
Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah tingkat partisipasi pemilih yang rendah, yang diklaim sejumlah pihak sebagai dasar untuk mengajukan permintaan pemungutan suara ulang (PSU).
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah, Dr. Naharuddin, SH, MH, menegaskan bahwa rendahnya partisipasi pemilih tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hasil Pilkada.
“Memilih itu hak, tidak bisa memaksa orang datang atau tidak ke TPS. Jika rendahnya partisipasi disebabkan kemalasan, apatisme, atau golput, itu tidak memengaruhi legitimasi pemilu,” ujar akademisi Universitas Tadulako (Untad) itu, Selasa (3/12).
Naharuddin menjelaskan bahwa hanya jika terjadi intimidasi atau kebijakan tertentu yang menghalangi hak pilih masyarakat, hasil Pilkada dapat digugat.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Prof. Slamate Riady Cante, menilai rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada disebabkan kejenuhan politik masyarakat.
“Pilpres dan Pileg yang berdekatan dengan Pilkada membuat masyarakat jenuh,” ujar Guru Besar Untad Palu itu.
Prof. Slamate juga menekankan pentingnya peran KPU dan partai politik (Parpol) dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
“Parpol adalah bagian dari pendidikan politik yang harus mendorong masyarakat untuk terlibat,” tambahnya.
Sebagai perbandingan, tingkat partisipasi pemilih di sejumlah provinsi dalam Pilkada 2024 menunjukkan variasi yang signifikan. Berikut beberapa data tingkat partisipasi:
Sulawesi Tenggara: 81,36% (tertinggi)
DKI Jakarta: 58% (terendah)
Sulawesi Tengah: 72,6%
Jawa Tengah: 70%
Sumatera Utara: 52,5%
Rendahnya partisipasi pemilih menjadi tantangan bagi penyelenggara dan partai politik untuk terus meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi.(and/man)