MOROWALI,Brita.id– Di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah terdapat situs prasejarah yang sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, yaitu situs gua tokandindi dan gua vavompogaro yang terletak di Desa Topogaro, Kecamatan Bungku Barat.
Penetapannya sebagai Situs Cagar Budaya dilakukan oleh Bupati Kabupaten Morowali dengan menerbitkan Surat Keputusan no. 188.4.45/KEP/0340/DISDIKDA/2022 tentang Penetapan gua vavompogaro sebagai Situs Cagar Budaya, dan Surat Keputusan No. 188.4.45/KEP/0265/DISDIKDA/2022 tentang Penetapan gua tokandindi sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Kabupaten.
Penetapan tersebut atas rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) setelah bersidang di tahun 2022 kedua gua tersebut telah diteliti sejak 2015 oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Arkeolog dari Jepang.
Dalam penelitiannya tersebut, tim peneliti melakukan ekskavasi dan menemukan banyak artefak yang merupakan bukti hunian manusia masa lalu di lokasi ini. Tim peneliti telah mempublikasikan hasil penelitiannya di beberapa jurnal bereputasi baik nasional maupun internasional.
Sampai Juni 2023 tercatat 10 artikel dan dua buku yang memuat hasil penelitian di situs arkeologi di Topogaro ini.
Dalam perkembangannya kawasan Topogaro ini selain kaya dengan tinggalan arkeologi juga memiliki potensi tambang.
Bahkan sejak 2018 sudah banyak aktifitas tambang di wilayah ini yang secara langsung mengancam kelestarian situs arkeologi, termasuk Situs Vavompogaro dan Tokandindi. Pelestarian situs cagar budaya selain berupa keputusan penetapan lokasi yang mengandung benda, bangunan, atau struktur sebagai situs cagar budaya, harus ditindaklanjuti dengan pelindungan secara keruangan.
Kegiatan pelindungan secara keruangan ini dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan pelestarian, terutama terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan. Hal ini pun telah diatur dalam pasal 1 ayat 26 Undang-Undang no. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, yang disebutkan bahwa “Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan kawasan cagar budaya sesuai dengan kebutuhan.
Oleh karena itu kegiatan pelindungan secara keruangan harus dilakukan dalam bentuk kajian, sesuai dengan pasal 72 ayat 1 bahwa pelindungan cagar budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi berdasarkan hasil kajian.
Hal itu yang kemudian mendasari Pemerintah Kabupaten Morowali mengajukan permohonan kepada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XVIII, salah satu UPT Kemedikbud Ristek yang menangani kebudayaan.
BPK Wilayah XVIII merupakan lembaga yang bar dibentuk tahun 2021, wilayah kerjanya meliputi dua provinsi yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, berkantor di Kota Palu. BPK Wilayah XVIII kemudian membentuk tim kajian delineasi dan zonasi, dengan melibatkan pamong budaya, tenaga ahli cagar budaya, akademisi dari Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin, program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Makassar, Asosiasi Profesi Perhimpunan Ahli Arkeologi Indonesia, Arkeolog dari Pusat Kajian Arkeologi untuk Masyarakat, serta tenaga teknis dari Pemerintah Kabupaten Morowali.
Kegiatan zonasi tersebut dipimpin langsung oleh Kepala BPK Andi Syamsu Rijal, S.S., M.Hum, maksud dan tujuan
Kegiatan delineasi dan zonasi ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data batas-batas keruangan situs dan menghasilkan data cagar budaya yang lengkap serta membagi ruang menjadi beberapa zona berdasarkan tingkat kepentingan dan rencana pemanfaatannya yaitu zona Inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona penunjang beserta batas-batas ruang pelindungan dan pemanfaatannya yang sesuai dengan ketentuan perlakuannya, serta menyusun rambu-rambu/ regulasi yang harus dipatuhi dalam setiap zona yang dibentuk sehingga dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam melakukan setiap upaya pelestariannya.
Adapun tujuan pelaksanaan Zonasi Cagar Budaya ini yaitu memberikan perlindungan maksimal terhadap cagar budaya di Situs cagar budaya vavompogaro dan tokandindi serta potensi cagar budaya lain di sekitarntya, yang merupakan upaya untuk mempertahankan bukti pertumbuhan peradaban bangsa Indonesia.
Memberikan ruang yang maksimal bagi upaya pelestarian cagar budaya sebagai warisan budaya yang tidak tergantikan dan rentan rusak oleh faktor usia, pengolahan lahan, perubahan iklim, dan ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Menetapkan area-area prioritas pelindungan tetap, terbatas (sedikit terintervensi), dan tidak tetap memberi kemungkinan untuk dilakukan pemanfaatan ruang yang berubah.Memberikan panduan untuk perencanaan pelestariannya, baik dalam bentuk pelindungan, pengembangan, maupun pemanfaatan situs cagar budaya, terutama dalam kaitannya dengan aspek keruangan.Sesuai dengan maksud dan tujuannya, kegiatan zonasi ini meliputi kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, dan penentuan zonasi.
Hasil akhir dari kegiatan ini adalah peta delineasi peta zonasi yang menunjukkan zona-zona pelindungan (inti, penyangga, pengembangan, dan penunjang) dengan batas-batasnya, serta ketentuan yang diberlakukan pada setiap zona.
Kegiatan zonasi ini juga nantinya akan merekomendasikan beberapa artefak seperti soronga, tembikar dan keramik asing untuk dijadikan koleksi museum yang kajiannya sudah dilaksanakan.(**/rfl)