PERJALANAN politik Herdianto Marsuki tak seperti politisi kebanyakan. Dari hidup sederhana di kos-kosan, ia kini menempati kursi tertinggi di lembaga legislatif Kabupaten Morowali sebagai Ketua DPRD periode 2024–2029. Sosoknya yang dikenal merakyat ini punya kisah inspiratif yang menyentuh akar perjuangan, kerja keras, dan ketulusan mengabdi.
Dalam sebuah wawancara di Ngobrol Politik Tribun Timur, Pria kelahiran Bungku Selatan ini mengisahkan awal mula perjuangannya sebagai anak kampung yang merantau ke Makassar sejak tamat SD tahun 1992. Ia menimba ilmu di Pesantren Pondok Madinah, lalu melanjutkan kuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Namun, kehidupan di kota besar tidak membuatnya lupa akar.
“Saya dulu kerja sebagai pengepul barang bekas di BTP, Makassar. Dari situ saya bisa bangun rumah pada 2005,” ungkap Herdianto.
Langkah politiknya dimulai ketika ia kembali ke Morowali tahun 2013, terpanggil untuk ikut membangun daerah yang mulai berkembang pesat setelah pemekaran dari Kabupaten Poso. Meski sempat ditolak PKB karena belum dikenal di akar rumput, ia akhirnya bergabung dengan Partai NasDem dan maju dalam Pileg 2014.
Tak langsung lolos ke DPRD, Herdianto akhirnya dilantik pada gelombang kedua, Desember 2014, usai perubahan jumlah kursi akibat pemekaran Morowali dan Morowali Utara. Sejak saat itu, ia memilih tinggal di kos-kosan kecil di Bungku Tengah.
“Sampai periode kedua pun saya masih ngekos. Bukan karena gaya hidup, tapi karena gaji waktu itu tidak cukup untuk sewa rumah besar,” terangnya.
Kini, dengan pengalaman sebagai anggota biasa hingga memimpin Komisi I dan III, ia resmi dikukuhkan sebagai Ketua DPRD Morowali pada 30 September 2024.
Menurutnya, posisi ini bukan sekadar jabatan, melainkan amanah untuk memberi manfaat seluas-luasnya.
“Saya sering bilang, kalau kita punya usaha Rp500 juta, zakatnya paling Rp3,75 juta. Tapi kalau modal itu dipakai untuk ikut pemilu dan kita terpilih, manfaat yang bisa diberikan jauh lebih besar,” jelasnya.
Di bawah kepemimpinannya, DPRD Morowali berfokus pada penguatan sektor prioritas seperti listrik dan air bersih di wilayah kepulauan, serta dorongan ke sektor pertanian agar masyarakat lokal tidak kalah di tengah geliat industri tambang.
Saat ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali melonjak dari Rp100 miliar pada 2014 menjadi sekitar Rp1 triliun. Lonjakan itu didorong oleh pengelolaan IMTA untuk tenaga kerja asing, serta kontribusi sektor industri pasca-beroperasinya IMIP sejak 2015.
Namun, tantangan tetap ada, mulai dari inflasi harga kebutuhan pokok, keterbatasan pangan lokal, hingga kewenangan pertambangan yang berada di tingkat pusat dan provinsi.
“Masalah seperti harga bakso Rp30 ribu itu karena pedagang melihat daya beli, bukan kebutuhan riil. Ini harus dikoreksi lewat kebijakan,” katanya.
Sebagai tokoh muda NU yang aktif di PMI dan Ansor, Herdianto tak pernah melupakan nasihat ayahnya. “Kalau ingin jadi tinggi, harus lurus jalannya, seperti tiang layar. Itu yang saya pegang sampai hari ini,” tutupnya.(trb/ipal)








